Selasa, 24 Februari 2009

Mengenai Tujuan Hidup

Saya harus jujur terlebih dahulu. Tulisan ini tidak ditujukan untuk para ateis. Lagipula, kalaupun sekiranya tulisan ini ditujukan buat anda, kaum yang membenci Tuhan, anda toh tidak peduli mengenai tujuan hidup. Jadi, singkatnya, apabila anda seorang ateis, apa boleh buat, anda harus menyingkir dari tulisan ini. Tulisan ini tidak ditujukan untuk anda. Selamat tinggal. Mudah-mudahan kita jumpa lagi dalam forum yang bisa menyatukan kita.
Sayonara.
Baiklah. Bagi anda-anda yang bukan ateis, mari kita lanjutkan.
Anda tidak datang sendiri ke dunia ini. Anda tidak menciptakan diri anda sendiri. Ada yang menciptakan anda. Ada yang membawa anda ke dunia yang kita tempati bersama-sama ini. Yang menciptakan anda dan saya ini tentunya mempunyai tujuan tertentu akan diri kita.
Tujuan inilah yang dinamakan tujuan hidup; yakni, mengetahui tujuan penciptaan kita, bukan, saya ulangi lagi, bukan menentukan sendiri tujuan hidup kita.
Kalau anda berselisih pendapat dengan saya dalam hal ini, apa boleh buat, anda terpaksa harus menerima pendapat saya apabila anda ingin melanjutkan membaca tulisan ini—walaupun anda ternyata adalah ateis yang masih tetap bertahan membaca tulisan ini. Saya patut menduga anda ateis, atau paling tidak terpengaruh pemikiran ateis, apabila anda mengatakan anda menentukan tujuan hidup anda sendiri. Orang-orang yang beriman percaya bahwa ketetapan Allah dan kemahakuasaan-Nya meliputi segala sesuatu termasuk penciptaan kita, manusia, di dunia ini. Karena itu, Allah yang menentukan tujuan hidup kita, bukan kita sendiri yang menentukan tujuan hidup kita.
Mengetahui tujuan hidup adalah hal yang paling penting dari semua hal-hal penting di jagad raya ini. Kalau anda dibawa ke suatu tempat, yang pertama hadir di pikiran anda adalah mengapa saya di sini? Apa tujuan saya di bawa ke sini? Kalau anda diberi duit luar biasa banyak, pertanyaan kedua [karena sifat alamiah manusia, saya yakin pertanyaan pertama adalah kok cuma segini?] di pikiran anda dan semua orang adalah mengapa saya diberi duit sebanyak ini? Apa tujuan saya diberikan duit sebanyak ini?
Singkatnya, setiap melakukan sesuatu, anda dan semua orang pasti berpikir apa tujuan yang ingin dicapai dengan melakukan hal itu. Ada satu hal penting lagi. Karena tujuan mengisyaratkan cara, maka jelas penting bagi kita melakukan sesuatu dengan mengingat tujuan sebelum, selama, dan sesudah melakukan hal itu. Hal yang harus dikerjakan sebelum hal ini adalah tentu saja mengetahui tujuan hidup.
Pertanyaannya sekarang adalah apa tujuan hidup kita? Jawabannya ada di buku yang diberikan Sang Pencipta kepada kita

dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Adz-dzariyaat:56)

Kita diciptakan untuk satu tujuan dan hanya satu tujuan saja: untuk mengabdi kepada-Nya. Kita diciptakan Allah untuk menyempurnakan ibadah kita, penghambaan kita kepada-Nya. Itu saja. Jadi semua orang: yang masih hidup atau telah lama mati, yang baru lahir atau telah berumur, yang tidak berpunya dan yang punya macam-macam, semuanya diciptakan ke dunia ini untuk beribadah kepada-Nya.
Mungkin anda sudah pernah dengar hal ini, berkali-kali malah. Meskipun begitu, mendengar bukan berarti memahami dan bertindak sesuai pemahaman itu. Yang paling penting lagi, masalah yang sudah sering didengar ini mempunyai implikasi yang luar biasa.
Mari kita lihat implikasi itu.
Kita diciptakan Allah dengan satu tujuan saja: untuk beribadah kepada-Nya. Artinya, kita tidak diciptakan untuk menjadi orang sukses, kaya, populer, berpengaruh/berkuasa, memiliki penampilan yang menarik dan up-to-date dengan mode terbaru, dan hal-hal lain yang mungkin saat ini membuat anda depresi dan terpikir untuk bunuh diri. Tidak. Kita tidak diciptakan untuk hal-hal itu. Dengan demikian, hal-hal itu sebenarnya tidak penting di mata Allah, tidak penting sama sekali. Sekali lagi, Allah tidak memerintahkan kita untuk menjadi sukses, kaya, populer, berkuasa, dan hal-hal lain yang selama ini kita impi-impikan. Demikianlah maksud ucapan kekasih kita yang mulia, Rasulullah SAW, yang bunyinya kurang lebih begini

Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa atau harta benda kamu sekalian. Namun, Ia melihat hati dan amal-amal kamu sekalian (Hr. Muslim)

‘Ya, iyalah,’mungkin demikian komentar anda,’saya kan berusaha memiliki hal-hal tersebut—dan menjadi depresi apabila tidak berhasil—untuk menarik perhatian manusia, bukan Allah’. Dengan komentar—maaf—dangkal seperti ini, anda sebenarnya sudah menunjukkan betapa—lagi-lagi saya mohon maaf—dangkal dan picik sebenarnya hal-hal yang menjadikan kita depresi dan lalu berniat bunuh diri.
Coba pikirkan lagi.
Anda berusaha untuk menjadi kaya—untuk menyebut satu contoh—dengan melakukan berbagai cara untuk dikagumi oleh manusia-manusia yang memiliki banyak keburukan dan kelemahan, yang diciptakan dari cairan yang menjijikkan, yang kemana-mana membawa kotoran dalam ususnya, yang picik, egois, serakah, tidak tahu malu, dan menjadi budak kepada hawa nafsunya? Lalu, ketika anda tidak berhasil di mata mereka—manusia-manusia rendah ini—anda membunuh diri anda? Anda depresi karena anda merasa tak berguna di depan manusia-manusia yang menjijikkan itu? Tidakkah ini absurd dan sekaligus menggelikan?
Sampai sejauh ini, apabila ada kata-kata atau cara penyampaian saya yang salah, saya mohon maaf. Seringkali, kebenaran dan cara pengungkapannya terasa menyakitkan, apalagi apabila datangnya dari saya yang miskin ini.
Mari kembali kepada pokok bahasan kita. Jadi, sekali lagi, tujuan hidup kita dan semua manusia sebenarnya, muslim atau bukan, adalah untuk menyempurnakan penghambaan kita kepada Allah. Tujuan ini diwujudkan muslim dalam setiap geraknya dan dalam setiap pekerjaannya. Apabila ia polisi, ia mewujudkan tujuan hidupnya: menyempurnakan penghambaannya kepada Allah dalam setiap geraknya sebagai polisi. Apabila ia dokter, ia menyempurnakan penghambaannya kepada Allah dalam setiap geraknya sebagai dokter. Demikian seterusnya.
Apabila ia tidak punya pekerjaan, ia tetap menyempurnakan penghambaannya kepada Allah karena mengabdi kepada Allah sama sekali tidak ada kaitannya dengan jenis pekerjaan; bahkan sama sekali tidak ada kaitannya dengan mempunyai pekerjaan atau tidak. Sebagaimana hadits yang kita kutip di atas, Allah melihat amal kita, bukan harta benda kita.
Anda sudah selesai membaca?
Coba pikirkan lagi, renungkan lagi, dan lagi, dan lagi.
Sudah?
Kalau sudah, bukankah hidup ini jadi terasa mudah? Dan memang hidup ini mudah. Kita, sekali lagi, kita, bukan Allah, yang membuat hidup ini menjadi demikian susah, suram, dan ‘beraroma kematian’.
Saya akan lanjutkan di tulisan berikutnya.
Namun, sekarang, saya mohonkan satu hal dari anda.
Tolong, tersenyumlah sekarang. Senyumlah, sebentar saja, apa susahnya? Senyumlah, supaya seluruh penghuni langit dan bumi tersenyum bersama anda.
[bersambung]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar