Kamis, 06 Agustus 2009

BERSANGKA BAIK KEPADA ALLAH (1)

Saya dulu tidak mengerti kenapa waktu sekolah dasar, pada mata pelajaran Agama Islam, kita diajari tentang husnuzhan/bersangka baik kepada Allah. Sekaranglah, setelah saya lebih tua, menjalani lika-liku kehidupan, mengalami hal-hal yang pahit dan menyedihkan, mengetahui secara langsung keburukan dan kebusukan dunia, dimana otak saya berproses sedemikian rupa sehingga menjadi demikian sinis dan skeptis terhadap semua yang saya anggap sebagai kebohongan dunia, saya mengerti pentingnya bersangka baik kepada Allah.

Marilah kita mulai dengan ayat

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga,
Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.



Inilah perkataan Qadhi Rabbul Jalil, Allah ‘azza wa Jalla, dalam Al-Quran Al-Karim, Surah Al-Baqarah: 214. Allah berkata kita tidak akan masuk surga sebelum datang cobaan yang menggoncangkan keyakinan kita akan ke-Maha-Pengasihan Allah dan pertolongan-Nya; singkatnya iman kita. Cobaan yang sama telah pernah Allah berikan kepada Rasul dan orang-orang yang beriman pada masanya; dan sedemikian menggoncangkannya cobaan itu sehingga mereka—mengutip ayat itu—bertanya-tanya “Bilakah datang pertolongan Allah?”

Pertama-tama dengan ayat ini Allah meyakinkan kita bahwa kita akan diuji: artinya Allah mulai melihat keimanan kita. Guru kita tidak akan memberikan ulangan kepada kita bila dia lihat kita tidak cukup cerdas untuk menerima dan mengerjakan ulangan kita. Artinya, Allah melihat ada kebaikan pada diri kita: kita sudah cukup kuat untuk diberi cobaan. Artinya lagi, Allah memberikan cobaan karena Allah melihat kebaikan kepada diri kita.

Tetapi, inilah masalahnya, tuan. Kita—dengan dibantu Setan Terkutuk—akan dengan mudah mencari alasan untuk meragukan bahwa kita tidak mungkin seberharga yang dikatakan ustad-ustad sehingga kita diberi cobaan oleh Yang Maha Pengasih—dan dengan demikian kita memberikan alasan kepada diri kita sendiri bahwa yang datang kepada kita adalah azab, bukan cobaan. Ujung-ujungnya: Allah membenci kita.

Pernahkah kita berfikir bahwa orang-orang kafir gak tahu di untung—yang membenci Allah sampai ke ubun-ubun seperti Abu Jahal pun—dicintai Allah sedemikian rupa sehingga ia diberi mata, mulut, makanan dan segala macam pemberian, bahkan diutuskan Allah kepadanya Rasul-Nya agar ia tidak sama derajatnya dengan kuda yang ditungganginya? Ini orang kafir musuh Allah. Apalagi kita yang ada iman.

Okelah iman kita kecil dan rasa-rasanya iman yang kecil itu tidak akan membantu kita dalam menempuh cobaan yang diberikan Allah. Namun, justru dengan cobaan, iman kita akan menjadi semakin kuat. Dan dengan demikian, iman kita yang kecil justru akan membantu kita menjalani cobaan itu.

Dan apabila Allah menyatakan kita cukup kuat, maka Ia akan memberikan ujian yang benar-benar sesuai dengan keimanan kita. Ini benar-benar perlu dicamkan. Bahkan ujian sekolah yang kita rasa cukup mudah pun, kadang-kadang ternyata melebihi kesanggupan kita. Namun, yakinlah, ujian Allah pasti sesuai dengan kesanggupan kita, sebagaimana diyakinkan-Nya kepada kita

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (Al-Baqarah/2: 286).

Tapi apa tujuan cobaan ini?—demikian mungkin pikiran ateis yang ditiupkan Setan Terkutuk ke pikiran kita. ’Apa tujuan cobaan ini selain untuk menunjukkan bahwa Dia berkuasa atas kita dan bisa berbuat apa saja yang Ia kehendaki—sebagaimana yang sering Ia ulang dalam kitab-Nya?,’ demikian lanjutan pikiran itu lagi, yang jelas ditiupkan si laknat itu untuk mengindoktrinasi kita bahwa Allah mempunyai kelainan narsisisme yang parah.

Untuk menunjukkan kasih sayang-Nya kepada kita itulah jawabannya.

Saya pernah mendengar bahwa ada beberapa orang yang merasa demikian frustasi dengan hidup ini sehingga mereka menyakiti diri mereka sendiri sampai mereka mengeluarkan darah untuk meyakinkan diri mereka sendiri bahwa mereka masih hidup. Mereka menyakiti diri mereka sendiri untuk membuktikan bahwa mereka masih hidup. Bukankah ini yang kita pertanyakan tadi?

Apakah tujuan ’penderitaan’-itukan pertanyaan kita tadi?

Kita bisa menjawabnya dengan keanehan-keanehan yang kita praktekkan sendiri dalam kehidupan kita.
Mengapa kita mengangkat barbel dan berjalan di threadmill tiap hari: membebani diri kita dengan kesulitan-kesulitan fisik yang sebenarnya bisa kita hindari?

Mengapa kita perlu belajar di sekolah, menghafal pelajaran, memeras otak, menalar abstraksi pemikiran orang-orang yang kita bahkan tidak kenal dan tidak mau untuk kenal?

Mengapa kita membatasi jumlah makanan yang kita makan?

Mengapa di kantor, kita mau terus-terusan menjadi bawahan yang didikte dan disuruh-suruh atasan kita dengan cita-cita, yang sebenarnya lebih tepat khayalan, bahwa suatu saat kita akan menjadi atasan, seperti yang mendikte kita itu?

Singkatnya, mengapa kita meletakkan beban atas diri kita sendiri?

Kalau kita mau/ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, kita tidak akan perlu menjawab pertanyaan: mengapa Allah mencobai kita. Kita sudah tahu jawabannya: Allah mau mendidik kita menjadi orang yang baik, sebagaimana kita sendiri dan lingkungan membatasi dan memberikan beban kepada kita agar kita bisa menjadi orang yang lebih baik. Itu saja.

Cobalah anda masukkan jawaban tersebut ke benak anda tiap kali pemikiran ateis tersebut muncul, maka anda akan lihat bahwa Setan—dan ini betul-betul si Laknat itu, bukan anda sendiri—akan menimbulkan satu lagi pertanyaan: tetapi kita bahkan tidak kenal Allah!

’Kita bahkan tidak kenal Allah’ demikian ke-was-was-an yang ditimbulkan setan di dalam hati kita.

Untuk sementara, saya minta anda untuk memberikan jawaban simpel kepada si Laknat itu. Katakan: aku tidak kenal kau, hai Laknat! Dan aku tidak akan pernah mau mengenal kau! Yang aku tahu pasti, Allah memeperkenalkan dirinya dalam Kitab-Nya sebagai Maha Pengasih yang menguasai seluruh jagat raya, termasuk kau, laknat! Mengapa aku harus lebih mendengarkan kau daripada Tuhanku Yang Maha Agung! Dan Tuhanku suci dari semua isi bisikan kotormu!

Untuk menutup bagian tulisan ini, ada doa yang diajarkan kekasih kita yang mulia, Nabi SAW.

Ya Allah, Engkaulah Tuhanku. Tidak ada Tuhan kecuali Engkau. Engkau yang menciptakanku. Dan aku adalah hambamu. Dan aku terikat perjanjian dan janji-Mu sebatas kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan-keburukanku. Aku mengakui nikmat-nikmat yang Engkau limpahkan kepadaku dan aku mengakui dosa-dosaku. Maka ampunilah aku karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar